Life has its own storyline

Of Lovely Mom, Cutie Aunt, Cryin’ Baby and Uncle’s Armpit

bunda1235551

Angelina Triaf ©2016 Present

Of Lovely Mom, Cutie Aunt, Cryin’ Baby and Uncle’s Armpit

[NCT] Moon Taeil, Ten Leechaiyapornkul, Kim Doyoung, Johnny Seo with [OC] Irish, Berlian, Angel, Donna [ft.] Ji Hansol & Lee Taeyong (NCT) | Comedy, Fluff, Friendship, Family, Crack! | PG-17 | Vignette-mix

0o0

[1]

Bayangkan saja bagaimana sejarahnya seorang Moon Taeil menjadi pengasuh bayi. Demi apa pun di dunia ini, itu adalah pekerjaan terakhir yang ingin Taeil lakukan sebagai seorang pria―bahkan ketika kelak ia memiliki anak sendiri, janjinya. Ya, bukannya Taeil benci anak-anak, hanya saja agaknya merepotkan mengurus benda kecil bernapas itu yang kerjaannya hanya bisa memainkan liurnya membentuk gelembung.

“Taeil, lebih baik kau ajak ia bicara. Ia sangat cerewet, kautahu?”

Hansol hanya cekikikan sendiri membiarkan Taeil bermain dengan anaknya yang baru menginjak usia dua tahun. Bocah lelaki itu sangat menggemaskan, tubuhnya memang kecil seperti bayi empat belas bulan. Kepalanya botak, namun matanya memang sangat mirip dengan Hansol―itulah yang membuat Taeil yakin bahwa anak ini ialah benar anak temannya itu dan bukannya anak hasil curian.

“Oh man, kau sungguh menyuruhku bermain dengannya?” tanya Taeil dengan wajah minta dikeplak. Iya, sungguhan minta dikeplak.

Sekali lagi, Hansol hanya mampu menyembunyikan tawa gelinya, jangan sampai Taeil tahu bahwa ia kini tengah ditertawakan.

Ya, semua ini berawal dari Irish yang sengaja meninggalkan Hansol untuk hangout bersama teman-teman sosialitanya. Secara ya, menjadi ibu rumah tangga tak lantas membuatnya terkurung di rumah. Hansol sekali-kali butuh waktu berdua dengan anaknya.

Baiklah, kembali pada Taeil yang sampai detik ini masih saja menatap bocah kecil di hadapannya. Ia tengah memainkan bebek karetnya, menggigitinya lantaran kesal dengan geliginya yang hendak tumbuh. Sumpah, Taeil seperti orang bodoh yang hanya menonton kegiatan menggemaskan anak itu.

“Jinhwan sayang, ini buburnya sudah siap.”

Hansol tahu-tahu datang dengan satu mangkuk bubur juga botol dot air milik Jinhwan―anaknya. Taeil menggeser duduknya lalu masih memerhatikan Hansol yang tengah memakaikan celemek makan milik anaknya.

“Kau kenapa?” Melihat Taeil yang masih melamun membuat Hansol gemas sendiri.

“Ah tidak, hanya saja aku masih tak habis pikir bagaimana kau bisa menikahi perempuan macam Irish yang kerjaannya hanya main saja.”

Bersamaan dengan wajah mong Taeil itu pula Hansol kembali tertawa lebih kencang. Mungkin karena lucu melihat ayahnya, Jinhwan malah berteriak melengking dan tersenyum lucu.

“Wah, anak Ayah lucu sekali. Lihat, Om Taeil juga lucu, kan? Seperti badut pinggir taman lawang―”

“Hansol, jangan bongkar aib masa lalu di hadapan bocah dua tahun tak berdosa itu.”

Kembali tawa geli memenuhi ruang tengah kediaman Ji. Masih sekitar tiga jam lagi sebelum Irish pulang, dan Hansol memegangkan sendok pada tangan Jinhwan untuk mengajari si kecil makan sendiri. “Jinhwan, ayo makan buburnya.”

“A…yah… Uap…”

Demi ubur-ubur, Taeil langsung membulatkan matanya mendengar kata absurd yang baru saja keluar dari mulut anak itu. Begitu pula dengan Hansol, temannya itu langsung mengarahkan wajah kepadanya dan tersenyum senang.

“Kau dengar itu, Taeil? Akhirnya Jinhwan memanggilku ayah…”

Oh, drama keluarga yang manis, dan Taeil rasanya ingin muntah melihat wajah melankolis Hansol yang super jelek itu.

“Memangnya ia bilang apa tadi? Uap apa?”

Ingin sekali rasanya Hansol memukul kepala Taeil detik ini juga. “Uap itu maksudnya suap. Ia minta disuapi. Jinhwan memang manja, apalagi dengan Irish.”

“Ayah… Uap!”

Duduk anak itu sudah gelisah, mungkin ia kesal karena dari tadi ayahnya terus menaruh atensi pada om-om tak jelas di hadapannya dan bukannya segera menyuapinya.

“Ayah… Uap! Uap!”

“Iya Jinhwan, Ayah suapi―”

Pacarku memang dekat, lima langkah dari rumah syalalalala…..

“Bung, kurasa ponselmu berdering,” ucap Taeil dengan tatapan mata penuh rasa jijik. DEMI TUHAN SEORANG JI HANSOL MEMASANG LAGU SUPER NORAK UNTUK DERING PONSELNYA.

Hansol langsung menunjukkan cengiran bodohnya lalu memberikan sendok bubur Jinhwan pada Taeil. “Ini, tolong suapi Jinhwan dulu, ya!”

Ya, Hansol!”

Serupa slow motion, Taeil menoleh pada Jinhwan yang menatapnya horor. Dari mana anak bocah ini belajar tatapan itu?

“Uap! Uap!”

“Iya, Jinhwan, sini Om suapi.”

Tangannya gelagapan sendiri bahkan hanya untuk menyendokkan bubur dalam mangkuk. Taeil terlihat sangat kikuk, bukanlah calon ayah yang baik untuk anaknya kelak.

Sampai akhirnya satu suapan berhasil masuk ke mulut si kecil. Anak itu tertawa senang, mungkin sedari tadi ia memang kelaparan―dan Om Taeil dengan kurangajarnya hanya menatapnya tanpa memberinya makan.

“Unda… Uap agi…”

Jemari mungil Jinhwan menarik-narik lengan baju Taeil, yang mana membuat Taeil langsung sadar dari lamunannya dan segera menyuapi Jinhwan lagi. Tapi, rasanya tadi Jinhwan mengucapkan sesuatu selain kata suap…

“Hei, maaf tadi Irish menanyakan kabar Jinhwan,” kata Hansol setelah kembali ke ruang tengah dan duduk di sampingnya. “Hei, anak Ayah senang ya disuapi Om?”

Lagi-lagi Jinhwan berteriak melengking, senyumnya terlihat sangat imut sehingga membuat baik Hansol maupun Taeil tersenyum refleks.

“Ayah… Unda uap Inan.”

“Apa, sayang?”

Benar, kan? Taeil yakin bahwa Jinhwan tadi mengucapkan kata selain suap.

Hansol mengerutkan keningnya, berusaha menggali lagi otaknya lebih dalam untuk menemukan kiranya kata apa yang Jinhwan sebutkan tadi. “Itu Om Taeil, sayang.”

“Unda uap Inan!”

Sampai detik selanjutnya wajah Hansol berubah Horor, dan Taeil tetap pada wajah bodohnya.

“Bunda…? Jinhwan disuapi Bunda?”

“Hah? Aku dipanggil Bunda?!”

“YA AMPUN DEMI APA BUNDA TAEIL?!”

Bruk!

Belum hilang rasa syok Taeil dan Hansol, kini mereka lebih kaget lagi dengan kehadiran Irish yang tahu-tahu menjatuhkan kantung besar belanjaannya ke lantai. Wajahnya syok, sepertinya Irish akan menangis.

“Irish, sayang, ini bukan seperti―”

“Apa maksudnya Bunda Taeil…” gumam Irish dengan air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya.

Ruangan hening, Hansol apalagi Taeil tak berani berucap apa pun. Mereka berdua tahu bahwa saat Irish marah dunia bisa saja kiamat.

“Unda… uap agi…”

Dan terima kasih pada Jinhwan yang kembali memanggil Bunda pada Taeil, Irish benar-benar ingin meledak detik itu juga.

“Aku… Aku mengajari Jinhwan memanggilku Bunda sudah sejak lama… DAN APA YANG KAU LAKUKAN, JI HANSOL?! KAU SELINGKUH DENGAN TAEIL BAHKAN MENGAJARI JINHWAN MEMANGGILNYA BUNDA?!”

“Irish, dengarkan dulu―”

“TAK ADA LAGI YANG PERLU KUDENGARKAN! NANTI MALAM KAU TIDUR DI LUAR!”

Lalu Irish serta-merta pergi ke dalam kamarnya dan Hansol dengan bantingan keras di pintu. Hansol langsung berlari menyusul istrinya itu, meninggalkan Taeil yang masih terbengong bodoh bersama Jinhwan.

Hello, orang kalau mau belok juga lihat-lihat, kali. Selingkuh dengan Hansol? Cih, jangan bercanda!

“Unda… uap agi!”

Sudahlah, Taeil tak mau ambil pusing. Lebih baik memberi bocah ini makan sebelum ia mati kelaparan.

“Unda!”

“Jangan panggil aku Bunda lagi!”

0o0

[2]

Sudah sangat amat lama Berlian mendengarkan celotehan kakak sepupunya yang menyebalkan ini. Tak jauh-jauh dari promosi segala macam usaha yang digelutinya. Hah, kalau begini terus ia bisa gila lalu mati muda dengan wajah penuh keriput lantaran menggerutu dalam hati.

“Kak Ten, bisakah kita tunda dulu promosimu? Aku harus pulang, Johnny tak terbiasa mengurus anak kecil sendirian di rumah.”

Oke, mulut tanpa rem milik Ten itu berhasil bungkam untuk pertama kalinya sejak tiga jam yang lalu. Wajah mulus Ten itu langsung menampakkan kerutannya kala berpikir, lalu kedua matanya menatap Berlian dengan horor.

Honey, ya ampun baru juga ngobrol sebentar udah ngeluh mau pulang. Ah kamu engga gaul.”

What the hell wanita cantik ini dikatain engga gaul sama titisan tante girang…

“Kak Ten―”

“Berlian, tutup mulutmu dan dengarkan dulu ucapanku,” potong Ten sembari memasukkan satu potong kue ke mulut Berlian. Ten mulai membuka buku jurnalnya, melihat-lihat koleksi jualannya untuk ditawarkan pada adik sepupu kesayangannya itu.

“Jadi pertama itu Kakak jualan lulur super canggih, bisa menghilangkan kulit mati hanya dalam satu detik. Tapi gosoknya ke badan yang kenceng ya, pakai batu kali kalau bisa biar hasilnya lebih maksimal. Kulit kamu bakalan lebih cerah, bisa sampai transparan malah saking cerahnya. Terus ini ada juga ekstrak jengkol asli dari Indonesia. Helew, emangnya cuma manggis yang bisa punya ekstrak, jengkol sekarang lebih canggih, lebih berkhasiat juga. Pokoknya kamu harus cobain, Ber. Terus seperangkat alat meni-pedi, lagi diskon 50% tiap pembelian kesepuluh. Kamu bisa tuh ajak teman-teman kamu untuk patungan, nah kamu jadi orang kesepuluh deh biar dapat gratisan…”

“Tunggu, Kak!” Berlian refleks berteriak, membuat hampir seluruh pasang mata di kafe ini menjadikan mereka berdua sebagai pusat perhatian.

Mungkin bagi Ten semua ini tak ada apa-apanya, toh ia sudah terbiasa menjadi konsumsi perhatian publik. Tapi lain hal dengan Berlian, ia malu setengah mati sampai akhirnya menutupi wajahnya sendiri dengan gelas besar kopi yang sebelumnya ia pesan.

Sialan Kak Ten, aku tuh ga bisa diginiin…

“Berlian?”

“Eh, iya?”

“Ini, masih ada produk super lagi yang ingin Kakak tunjukkan padamu.”

Ten terlihat kembali mengobrak-abrik isi tasnya, sedangkan Berlian memberengut kesal sembari meminum kopinya dalam diam. Kapan pula ia bisa segera pulang. Johnny tak bisa ditinggal di rumah sendirian bahkan hanya untuk tiga jam saja. Apalagi di sana sedang ada…

“Nih, katamu kemarin Johnny memiliki masalah dengan uban? Eh, atau apa? Nih, ada pewarna rambut yang super canggih, lama lunturnya dan dijamin warna rambut jadi berkilau. Mau lihat lebih banyak? Ada warna cokelat kayu, cokelat bambu, cokelat tanah, cokelat tembok, cokelat madu, cokelat kecokelatan, merah, hitam, pirang―”

“Ah, Kak, ada warna hijau atau pink?”

Oke, untuk detik ini Berlian mulai tertarik dengan tawaran Ten. Untuk kali ini Ten benar, Berlian membutuhkan pewarna rambut karena semalam Johnny memintanya mencarikan warna yang bagus. Pertamanya Ten memang mengerutkan kening. Orang gila mana yang ingin mewarnai rambutnya dengan hijau apalagi pink? Tapi, demi keberlangsungan usahanya, Ten akhirnya mengangguk, “Tentu saja ada.”

Berlian tersenyum senang, menunggu Ten yang sedang mencarikan dua warna lucu itu. Dalam benaknya Berlian sembari berkhayal akan seperti apa Johnny dengan warna hijau juga pink

“Ini, satunya sepuluh ribu won.”

―mari hentikan pikiran liar Berlian sebelum semakin berkelanjutan.

“DEMI APA KAK MAHAL BANGET?!”

“Eh, santai aja lah, Ber. Ini impor dari Zimbabwe tahu, makanya mehong.”

Anjay, Kak Ten belajar bahasa planet dari mana coba…

Butuh menghela napas sepuluh kali lebih agar Berlian kembali tenang setelah mendengar harga pewarna rambut itu. Dua puluh ribu won hanya untuk dua pewarna rambut? Berlian masih cukup waras.

“Kak, katamu tadi banyak diskon. Ini dua diskon, ya? Satunya jadi lima ribu won.”

“Engga.”

“Ih Kak Ten mah tega sama adik sendiri…”

Ten menatap Berlian yang kini sudah melancarkan aksi memohonnya. Siapa juga yang tega melihat wajah melas Berlian yang seperti itu? “Lima belas ribu won dua, deh. Lagian nanti tuh ya, rambut Johnny bakalan berkilau sempurna, kepalanya akan jadi pusat perhatian bak supermodel―”

“Eum, Kak… Sebenarnya itu… bukan untuk mewarnai rambut di kepala…” potong Berlian, dengan suara yang semakin dipelankan.

Demi apa pun, sekarang Ten hanya mampu terdiam, memikirkan segala kemungkinan. “Ber, apa maksudmu dengan bukan rambut yang di kepala…?” Wajah Ten berubah horor dengan sendirinya.

“Hehehehe… itu… Untuk rambut ketiak.”

DEMI LORD BERLIAN, SUAMI SENDIRI MAU DIWARNAIN HIJAU BULU KETIAKNYA? SEPERTINYA NIKAH SAMA JOHNNY ADIKKU INI KETULARAN GILA DEH…

“Kak Ten?”

“Ah, iya?”

Lamunan Ten buyar dengan panggilan barusan. Ten mencoba tenang, otaknya mensinkronkan bahwa ketiak yang diwarnai hijau adalah normal; sangat normal. “Baiklah, jadi rambut ketiaknya akan diwarnai hijau, begitu?”

“Tak hanya hijau, mau kuombre pink-hijau. Bagaimana, bagus, kan?”

Bolehkah Ten terjun ke Sumur Sadako sekarang juga?

“Ah… bagus, kok…” gumam Ten antara ikhlas dan tidak.

Lain hal dengan Ten yang agak tak nyaman mengetahui fungsi sebenarnya pewarna rambut yang akan dibeli sang adik, Berlian tampak begitu senang saat kini ia tengah membaca petunjuk pakai di belakang bungkusnya. “Oh iya, Kak Ten jualan penebal rambut juga, tidak?”

“Untuk menebalkan rambut kepala, kan?”

“Bukan, tentu saja untuk ketiak.”

Bolehkah Ten benar-benar terjun ke jurang detik ini juga?

Tapi, Ten memutar otaknya ke jalan yang lain. Ia tetaplah harus profesional. Sebagai penjual sejati, tentunya ia harus mempromosikan barang dagangannya dengan baik dan benar, masa bodoh apakah nanti pelebat rambut itu mau digunakan di mana.

“Oh, kalau untuk ketiak merek ini yang bagus. Bayangkan saja ya, Ber, saat kamu berada di pelukan Johnny, pelukannya akan terasa semakin hangat lantaran bulu ketiaknya yang lebat. Terlebih lagi nanti warnanya ombre hijau-pink gitu. Berlian, demi apa ya pasti kamu bakalan suka merek yang ini. Oh, atau kalau mau yang tak terlalu lebat bisa pakai merek yang satunya. Itu engga bikin lebat sih tapi membuat rambut jadi panjang. Kalau panjang kan nanti bisa kamu kepang fishtail tuh rambut ketiaknya, pasti lucu. Terus juga ada…”

Ya, transaksi berjalan dengan sangat lancar. Berkat keahlian Ten dalam berdagang yang cetar membahana itu.

Oh, hampir lupa. Gaya bicara Ten mengingatkan Berlian dengan tantenya. Sungguhan, benar-benar mirip!

0o0

[3]

“Angel, kau yakin ini akan jadi ide yang bagus?”

Sedari tadi Doyoung terus mengedarkan matanya was-was. Pasalnya, terkadang Angel bisa menjadi sangat tidak waras jika sudah menyangkut apa yang diinginkannya. Sialnya Doyoung yang harus terlibat semua ini karena Jaehyun sangat ahli melarikan diri.

“Seribu persen yakin, Kak!” ucapnya dengan penuh keyakinan, matanya masih fokus dengan buku menu dalam genggamannya. “Aku kan hanya ingin mencoba cake yang baru di sini, tapi memang Mas Taeyong yang alay itu tak membiarkanku datang ke sini.”

“Hei, aku yakin ini bukan hanya pasal ingin makan cake.”

Doyoung menatap Angel tajam, sedang yang ditatap hanya cengengesan tidak jelas. “Hehehe, kok Kak Doyoung tahu, sih?”

“Halah, sudah kuduga.”

Setelah memesan makanan untuk keduanya, Angel kembali melihat layar ponselnya sedangkan Doyoung hanya melamun memandangi jendela. Atmosfernya agak aneh, memang. Karena Doyoung tak biasanya pergi berdua saja dengan Angel, mereka selalu bertiga dengan tambahan Jaehyun.

“Tuh kan, Kak. Mas Taeyong ini memang ngeselin, rasanya mau kumusnahin aja kupaketin dia ke Pluto. Masa tiap detik kirim pesan, lima menit sekali telepon. Demi Lord Angel tuh ga bisa diginiin…”

Angel sepertinya kebanyakan nonton drama sambil makan mecin…

Dan jadilah Doyoung yang mendengarkan curhatan Angel tentang Taeyong selama hampir dua jam. Berbekal lima piring cake beda rasa serta satu gelas besar cappuccino, Doyoung dengan tenang mendengarkan keluh kesah serta cerita Angel tentang beragam kejadian dalam hidupnya.

Tunggu sebentar, itu Doyoung lapar, doyan atau maruk?

“Iya Kak, apalagi waktu Mas Taeyong menjemputku di stasiun. Ia kira aku sedang jalan dengan Winwin padahal tidak. Ah, aku benar-benar tak habis pikir―”

Jangan memilih… aku… bila kau tak bisa setia…

“Engga ada nada dering yang lebih norak lagi?” sarkas Doyoung begitu mendengar bunyi ponsel Angel.

Demay, Mas Taeyong yang ganti itu sumpah deh Kak!” sanggah Angel dengan wajah yang tak kalah syok lagi horor. “Halo Mas, kenapa?”

Anjay, Bang Tae, Ngel?”

Satu anggukan dari Angel berhasil membuat seluruh bulu kuduk―dan mungkin juga bulu-bulu lain dalam tubuh Doyoung―merinding disko. Taeyong itu kalau sudah marah bisa jadi sangat menyeramkan, apalagi kalau cemburu.

Taeyong marah karena cemburu, selesai hidup Doyoung. Kelar, tamat, fin, finish, end.

“Engga, ini Angel lagi di kafe aja. Ah, sama siapa? Sama…”

Wajah Angel berubah semakin horor. Ia melirik Doyoung, kiranya meminta bantuan alasan dengan siapa ia pergi agar Taeyong tidak murka. Tapi nihil, Doyoung pun langsung blank otaknya begitu mendengar nama Taeyong disebut.

“Sama… Sama tanteku. Iya, sama tante!”

ANJAY, MANUSIA GANTENG GINI DIBILANG TANTE?

“Iya, Mas. Tante tadi ngajak curhat gitu soalnya dia baru aja diputusin sama pacarnya. Ya, daripada nanti tante bunuh diri kan lebih baik Angel ajak jalan-jalan. Lagian cake di sini enak loh.”

Demi dewa, Doyoung hanya bisa jaw drop mendengar alasan paling tidak logis yang terus Angel utarakan pada Taeyong. Gila, mau ditaruh di mana mukanya kalau-kalau Taeyong nekat―

“Mas mau nyusul ke sini?”

―datang ke sini.

MATI AKU MATI!

“Eum… Kafe Uwa, iya dekat perpustakaan kota. Hah? Lima menit lagi sampai?!”

EH ANJAY BENERAN MATI INI MAH!

“Iya Mas, Angel tunggu.”

Panggilan pun ditutup, menyisakan Angel dengan wajah panik serta Doyoung yang sudah kehilangan separuh nyawanya. “Ngel, terakhir kali kamu jalan sama laki-laki lain dan Bang Tae tahu, temanmu itu diapain, ya?” tanya Doyoung setengah hati. Pandangan matanya tak lagi memancarkan kehidupan. Doyoung sudah mati secara psikis.

“Terakhir kali itu jalan sama Kak Ten. Kakinya patah diselengkat sama Mas Taeyong. Untung masih sempat ditolong. Tadinya mau dipatahin tangannya juga sama―”

STOP NGEL DEMAY INI GIMANA NASIBKU?!”

“KAK, ITU MOBIL MAS TAEYONG DI PARKIRAN!”

Angel terbelalak, ia tentunya sangat mengetahui mobil sang kekasih. Ia panik, keduanya panik. Doyoung bahkan sudah kehilangan semangat hidupnya.

Tapi, di tengah-tenagh kepanikan itu…

“Ah Kak, Angel ada ide!”

“Apa? Cepat!”

Gadis itu mengeluarkan satu bungkus besar paper bag dari tasnya. Doyoung mengerutkan keningnya, tak ada ide sama sekali tentang benda apa yang ada di dalamnya. “Ini kostum dramaku tadi. Ada wig-nya juga, bisa Kakak pakai untuk menyamar sebagai tanteku.”

“Demi apa kamu menyuruhku menyamar jadi tante-tante…?”

“Mau selamat sampai rumah atau engga, Kak?” Angel menatap Doyoung serius, membuat pemuda itu mau tak mau menghela napas lalu segera pergi menuju toilet.

Angel terus menunggu dengan cemas. Mana tadi ia lupa memberi tahu supaya Doyoung setidaknya berdandan layaknya tante-tante sungguhan. Tak lama, Taeyong terlihat memasuki kafe dan berjalan mendekat ke arahnya.

“Angel? Katanya sama tantemu?” tanya sang kekasih begitu duduk di sampinya.

Ini orang baru datang peluk dulu kek cium kek malah langsung nanyain tante.

“Lagi ke toilet―”

“Tante, duh, lain kali jangan salah masuk toilet, saya kan jadi salting!”

Dan begitulah, saat sesosok cantik dengan rambut bergelombang menjuntai sampai punggung juga lipstik merah memukau itu berjalan memasuki tengah kafe setelah sebelumnya meminta maaf pada pemuda lucu di seberang sana.

“Duh, tante sepertinya butuh minum obat lagi. Tanda toilet saja sampai engga bisa bedain.”

YA LORD KAK DOYOUNG CANTIK ABIS. KALAH AKU…

“Eh, siapa nih tampan sekali,” ucap Doyoung dengan nada centil menjijikkan.

“Eh, eum… Lee Taeyong, Tan. Pacarnya Angel.”

“Duh Angel ya, punya cogan badai gini tantenya engga dikasih tahu.”

ANJAY, RIP KEWARASAN KIM DOYOUNG.

“Ehe ehe hehehe…” Hanya tawa hambar bin garing yang bisa Angel tunjukkan pada keduanya.

“Kenalin ganteng, nama Tante Doya. Eh, sebenarnya Dora, sih, cuma waktu kecil cadel makanya sekarang lebih akrab dipanggil Doya. Panggilnya Tante Doya ya, jangan Tante Bunga apalagi Tante Mawar. Macam korban pemerkosaan nanti.”

UDAH AH ANGEL GA MAU IKUTAN MAU PULANG AJA, KAK DOYOUNG GILA.

“Oh, hehe, iya Tante. Tadi katanya Tante galau gitu, ya? Angel nih, orang galau bukannya dihibur malah diam aja dari tadi.”

“Ehe ehe hehehe… Abisnya ga tau lagi mau bilang apa.” Sumpah, itu adalah tawa paling tak ikhlas di dunia ini.

“Hiks… Iya ganteng, jadi tuh ceritanya Tante punya pacar gitu, pria tajir pengusaha batu bara di Kalimantan. Tapi ya gitu, ternyata dia sudah punya istri tiga belas ekor. Tante mau dijadiin istri keempat belas. Ya gila aja kan ya tuh orang, Tante cantik menawan seksi gini mau diempat-belasin. Ya Tante jadinya sedih gitu kan… Hiks… Sini ganteng, Tante pinjam lengannya untuk bersandar…”

Dan benar saja, Doyoung langsung memeluk Taeyong dari samping, menangis seperti bayi membuat Angel hanya bisa terdiam.

SUMPAH AKU MALU, DEWA BANTU ANGEL YAWLAH DEMAY INI AKU HARUS KABUR.

“Eum, Mas, Tan, Angel mau ke toilet, ya.”

Taeyong yang tengah takjub akan makhluk di sampingnya itu langsung tersadar dari lamunan dan mengangguk mengiyakan. Sementara Doyoung tak menyadari karena terlalu asyik berdrama ria.

Yap, Angel benar-benar kabur lewat pintu belakang kafe dan pergi meninggalkan mereka berdua. Biarkan saja Doyoung terus seperti itu, kalau ketahuan kan dia ini yang kena batunya dari Taeyong.

“Engga lagi-lagi deh jalan sama Kak Doyoung, mending sama Jaehyun aja lebih waras orangnya,” gumam Angel lalu langsung tancap gas meninggalkan kafe itu beserta cerita lawak di dalamnya.

0o0

[4]

Jadi sebenarnya, di kediaman Seo itu sedang ada…

“Om, Tante Berlian kok lama banget ya engga pulang-pulang. Apa lagi selingkuh sama Om Kaya yang lain?”

Sialan nih bocah…

Yap, Johnny dan Berlian sedang kedatangan keponakan menggemaskan mereka yaitu Donna. Bukan dalam maksud khusus sih, hanya saja kata orang kalau perempuan sulit hamil itu sebaiknya dipancing dengan kehadiran anak-anak dalam rumah.

Iya, Berlian dan Johnny sangat menantikan kehadiran buah hati mereka sendiri untuk menghangatkan rumah besar ini. Duh, kenapa jadi melankolis begini, sih?

“Donna, ayo makan dulu. Nanti kalau kamu makin kurus gara-gara tinggal sama Om terus mama kamu marah kan engga lucu.”

“Ga mau, masakan Om John engga enak. Maunya dimasakin Tante Berlian.”

Demi apa, hatiku tertohok…

Rasanya Johnny ingin sekali membuang Donna ke Antartika atau sekalian saja dimakan dugong Afrika. Untungnya Johnny termasuk golongan orang-orang paling sabar di dunia sehingga masih sanggup berdekatan dengan bocah rasa setan di sampingnya.

Iya, Donna itu bocah rasa setan kalau kata Johnny.

Pria tampan tapi aib itu hanya mampu menatap keponakannya, melihat gadis kecil itu yang tengah membuka sebuah situs di laptopnya. Ini juga yang membuat pekerjaan Johnny terhambat, laptopnya selalu dijadikan korban oleh Donna untuk menonton video Kipop. Katanya Donna sangat menyukai Super Junior dan SHINee. Dasar anak zaman sekarang, kekiniannya sudah melampaui batas kewajaran.

“Kamu lagi apa, sih?”

“Lihat berita perselingkuhan Chen EXO. Katanya kemarin tertangkap basah sedang bermesraan dengan seorang gadis bernama Airly.”

Johnny hanya mampu jaw drop dengan mata membulat tak percaya. Sungguh, ia masih tak habis pikir mengapa Berlian memilih Donna dari sekian banyak keponakan mereka yang lebih lucu dan imut. Demi Tuhan, demi dewa, kenapa mereka harus mengurus bocah macam ini…

“Donna sayang, Om boleh pinjam laptopnya, ya? Masih banyak kerjaan nih…”

“Engga boleh.”

“Sayangnya Om yang imut ini engga boleh gitu ah… Nanti Om belikan es krim dua bucket. Pinjam, ya?”

Mendengar kata es krim membuat Donna membulatkan matanya. Kedua bulatan hitam itu bersinar bagai permata dalam samudera. Bahkan Johnny sampai kesilauan.

Tunggu, Johnny ini kesilauan melihat mata Donna atau jidatnya, ya?

“Benar, ya?”

“Iya, tapi Donna sekarang juga harus makan. Tante Berlian pulangnya masih lama. Om Ten kalau ngajak jalan-jalan kadang suka engga manusiawi,” bujuk Johnny untuk yang kesekian-kalinya.

Hingga akhirnya Donna mengangguk dan mengambil makanannya sendiri di dapur. Sungguh anak yang mandiri dan patut diacungi lima jempol; dua jempol tangan, dua jempol kaki dan satu jempol kaki Yuta yang sudah tak terpakai. Eh, kok jadi ada Yuta? Padahal ia tidak dibayar untuk muncul dalam cerita ini.

Tak lama setelah Johnny membuka dokumen yang akan ia kerjakan, Donna datang membawa sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng tiga buah, perkedel dua buah, timun satu potong, sambal terasi seperempat piring, tempe goreng lima buah… Katanya masakan Johnny engga enak, tapi kok ngambilnya banyak gitu, ya?

Kini gantian Donna yang menaruh atensi penuh pada Johnny. Telihat dengan jelas gambar-gambar aneh yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dalam benak gadis kecil tak berdosa itu.

Maaf, ralat. Donna justru hidupnya kebanyakan dosa.

“Om, itu gambar apa?” Masih dengan sendokan nasi di mulutnya, rasa penasaran Donna sudah tak bisa terobati lagi.

Ia melihat gambar dua orang; laki-laki dan perempuan, lalu juga melihat gambar rumah sakit di belakangnya. Oh iya, informasi saja bahwa Johnny ini merupakan dokter muda yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal Seoul. Jadi Donna sebaiknya jangan macam-macam atau Johnny bisa tiba-tiba berubah menjadi psikopat dan membedah tubuh bocah itu sampai ke organ dalamnya.

Dan mari hentikan pikiran gila itu sebelum Johnny benar-benar menjadikannya referensi hidup.

“Ini gambar simulasi ibu melahirkan. Jadi nanti suaminya yang antar istrinya ke rumah sakit, gitu. Itu sih cuma saran terbaik aja, kalau engga bisa antar sendiri juga engga apa-apa.”

“Oh… Nanti Tante Berlian juga seperti itu, ya?”

Entah Donna hanya berkata asal atau bagaimana, yang jelas satu kalimat barusan membuat Johnny terdiam. “Iya, tapi kan Tante Berlian engga lagi hamil, Don.”

“Ih, tapi tiap aku masuk kamar waktu Om lagi kerja, Tante suka cerita gitu kalau di perutnya agi ada bayi. Masih kecil banget jadi belum kelihatan.”

Wah, nih anak bercanda apa engga, ya…

Dan jadilah Johnny galau setengah hidup. Ya kali masa istrinya hamil engga kasih tahu apa-apa. Dasar istri durhaka―

“Donna, Tante pulang!”

Mata Donna kembali berbinar mendengar kepulangan tante tercintanya. Tetapi baru saja ia akan berdiri untuk menyambut kepulangan Berlian, Johnny sudah terlebih dahulu mencegatnya untuk kembali duduk. “Donna, kamu nonton video ini dulu, ya. Om mau bicara sama tantemu.”

Sebagai anak baik Donna hanya mengangguk lalu mulai memfokuskan matanya pada video ibu melahirkan yang Johnny telah play. Donna terlihat tenang menonton sembari menghabiskan makanannya.

Di sisi lain rumah, Berlian tengah duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan Donna yang biasanya menyambutnya. Tapi justru matanya membulat terkejut ketika mendapati Johnny berjalan ke arahnya lalu tiba-tiba duduk di sampingnya dengan senyum horor itu.

“Kamu kenapa?” tanya Berlian, ia mulai menggeser duduknya menjauh takut-takut Johnny tengah kesurupan jin penunggu rumah.

“Kok kamu hamil engga bilang aku?”

Lah, pasti ini Donna yang bilang.

“Hehehe, kan kejutan…” Berlian hanya bisa tertawa melihat wajah terharu Johnny yang agaknya mendekati kata aib itu.

“Tanteeeeee….”

Lalu Donna datang tiba-tiba dan memeluknya, membuat Berlian dan Johnny tertawa melihat kelakuan bocah itu. “Donna lagi apa sih kok Tante pulang kamu engga nyamperin?”

“Tadi Om kasih Donna film gitu, Tan.”

Mendengar kata film membuat Berlian refleks menatap Johnny menyelidik. “Film apa yang kamu kasih ke Donna?”

“Cuma film proses ibu melahirkan―”

“Iya Tan, tadi pokoknya ada dua laki-laki gitu, mereka ngajak satu perempuan ke kamar terus―”

“JOHNNY, ORANG BUTA PUN TAHU ITU BUKAN FILM IBU MELAHIRKAN!”

Panik, pria itu langsung berlari menuju tempat di mana laptopnya berada, mendapati judul video yang bertuliskan ‘Bahaya Threesome Bagi Kesehatan’.

“YA TUHAN AKU SALAH PLAY VIDEO!”

Berlian hanya mampu menepuk keningnya, dan Donna tak tahu di mana letak kesalahan dalam cerita ini. Ia hanya menuruti perkataan Johnny untuk menonton film di laptop. Tak lama, Johnny datang dengan wajah pias lantaran takut Berlian akan memakannya hidup-hidup karena disangka mengajari keponakan mereka hal-hal yang aneh.

Tapi ternyata tidak. Justru kini mereka berdua terlihat sangat gembira dengan kantung belanjaan yang ada di meja. Apa mungkin Berlian membelikan Donna boneka chucky limited edition yang bocah itu idam-idamkan sejak dua minggu yang lalu?

“Wah, Om John pasti suka sama yang itu.”

“Iya, kaaaannn?? Tante juga punya firasat bagus!”

Oh, obrolan mencurigakan keduanya berarti firasat buruk bagi Johnny. Lebih baik ia memutar badan lalu kembali mengerjakan laporan medisnya sebelum―

“Johnny, sayang, sini sebentar.”

―ya, neraka memang sangat menyayanginya.

Johnny berjalan lunglai menghampiri dua perempuan yang ia sayangi itu―sekaligus dua yang paling menyebalkan, apalagi Donna. Dari jarak beberapa meter pun ia sudah tahu apa yang tengah Berlian perlihatkan pada Donna.

“Om, lihat nih, warnanya lucu!”

Sampai mata pria itu membulat sempurna saat melihat bergantian antara sang istri dan benda di tangannya.

“Jadi saat semalam kau bilang ingin menjadi pelukis itu sungguhan?” kata Johnny pasrah. Apa ini faktor mengidam atau bagaimana? Johnny rasanya ingin terjun dari atas Niagara sekarang juga.

“Iya! Kata Kak Ten ini warnanya tahan lama. Oh, jangan lupakan pelebat rambut ini! Bayangkan saja bagaimana rasanya dipeluk dan merasakan kehangatan ketiak suami tercinta yang bla bla bla…”

Tuhan, rasa-rasanya Johnny mendadak tuli. Jika saja bukan istri sendiri mungkin Johnny sudah memaketkan Berlian ke Pluto atau ke galaksi lain sekalian―oh, dan juga memaketkan Donna ke alam baka.

“Tapi, sayang, itu warna hijau dan pink!―”

“Bagus kan, Om? Seperti anak ayam yang dijual di depan sekolahku! Lucu!”

ANJAY NIH ANAK BUKANNYA BELAIN MALAH NGOMPORIN.

“Tapi kan―”

“Jadi kamu engga mau? Kamu udah engga sayang aku? Kamu punya selingkuhan lain di rumah sakit, ya? Ayo ngaku!”

Menghela napas sangat dalam, Johnny akhirnya mengalah karena tak lucu jika ia membiarkan Berlian mengamuk dalam rumah hanya karena pasal ingin mewarnai bulu ketiak.

“Iya, iya, terserah kamu.”

Dan bersamaan dengan itu senyum di wajah cantik sang istri terkembang. Ia menghampiri Johnny yang masih berdiri dan memeluknya erat, menyisakan Donna yang terdiam karena tak tahu apa-apa. Anak itu tampaknya terlalu polos.

Atau… Sepertinya Donna sedang berusaha mencerna film yang barusan ia tonton.

“Nah kalau begitu, Donna kamu nonton film barbie saja ya di kamar. Tante tadi beli lima kaset dvd baru! Oh, jangan lupa nontonnya pakai headset.”

“Tapi, sayang, laptopku… kerjaanku… laporanku…”

“Oke, Tante!”

Yap, gadis kecil itu berlalu begitu saja dari ruang tamu dengan lima kaset barbie-nya yang baru, berjalan mengambil laptop Johnny dan membawanya masuk ke kamarnya. Kini tinggal Johnny dan Berlian berdua dalam hening.

Johnny terdiam. Mau bagaimana lagi? Anggap saja ini hadiah atas rasa syukur Johnny karena Berlian akhirnya mengandung juga. “Ya, jadi siapa yang mau digendong?”

Sampai tawa keduanya menggema di seluruh penjuru rumah. Mengajarkan pada hari ini bahwa segala hal mungkin saja terjadi karena cinta.

Karena Johnny sangat mencintai Berlian, hal tak logis pun rela ia lakukan demi sang kekasih hati.

“Donna, jangan lupa pakai headset!”

“Iya, Om!”

FIN

Akan lebih bagus jika berkunjung ke here untuk melihat asal mula cerita ini xD

Satu tanggapan

  1. Ping-balik: [Seo Family] Holiday! | Live Your Life

Tinggalkan komentar